Wow, hatiku keluar untuk kalian semua. Saya berasumsi bahwa mereka memiliki peralatan alarm dan sebagainya. Saya tahu ada kaus kaki yang mengukur detak jantung dan kadar oksigen, tetapi tidak yakin ini benar-benar membantu (atau tahu apakah mereka dapat diandalkan menurut Anda).
(Tidak semua info ini cocok dengan contoh persis Anda, tetapi ketika saya menggunakan tanda kutip, saya lebih suka tidak mengedit materi yang dikutip.)
Gejala emosional & psikologis:
- Shock, penolakan, atau tidak percaya
- Kebingungan, sulit berkonsentrasi
- Kemarahan, lekas marah, perubahan suasana hati
- Kecemasan dan ketakutan
- Rasa bersalah, malu, menyalahkan diri sendiri
- Mundur dari orang lain
- Merasa sedih atau putus asa
- Merasa terputus atau mati rasa
Gejala fisik:
- Insomnia atau mimpi buruk
- Kelelahan
- Terkejut dengan mudah
- Kesulitan berkonsentrasi
- Detak jantung berdetak kencang
- Kebencian dan agitasi
- Sakit dan nyeri
- Ketegangan otot
Apa yang mungkin membantu:
- olahraga
- menjaga hubungan
- jaga kesehatan Anda sendiri - makanlah dengan benar dan tidurlah sebaik mungkin. Mintalah anggota keluarga yang dapat mengawasi bayi dan memungkinkan untuk tidur orang tua tanpa gangguan (atau hanya untuk memberi makan)
- Atur sendiri sistem saraf Anda:
Tidak peduli seberapa gelisah, cemas, atau di luar kendali yang Anda rasakan, penting untuk mengetahui bahwa Anda dapat mengubah sistem gairah Anda dan menenangkan diri. Tidak hanya akan membantu meringankan kecemasan Anda tetapi juga akan menimbulkan rasa kontrol yang lebih besar.
Bernafas dengan sadar. Jika Anda merasa bingung, bingung, atau kesal, cara cepat untuk menenangkan diri adalah melalui pernapasan yang penuh perhatian. Cukup ambil 60 napas, fokuskan perhatian Anda pada setiap napas keluar.
Input sensorik. Apakah pemandangan, bau, atau rasa tertentu dengan cepat membuat Anda merasa tenang? Atau mungkin mengelus binatang atau mendengarkan karya musik dengan cepat menenangkan Anda? Semua orang merespons masukan sensorik sedikit berbeda, jadi bereksperimenlah untuk menemukan yang terbaik untuk Anda.
Tetap membumi. Untuk merasa di masa kini dan lebih membumi, duduklah di kursi. Rasakan kaki Anda di tanah dan punggung Anda di kursi. Lihatlah ke sekeliling Anda dan pilih enam benda yang memiliki warna merah atau biru. Perhatikan bagaimana pernapasan Anda menjadi lebih dalam dan lebih tenang.
Biarkan diri Anda merasakan apa yang Anda rasakan ketika Anda merasakannya. Akui perasaan Anda tentang trauma yang timbul dan terima.
TAUTAN
Meditasi telah bekerja untuk saya dan keluarga saya selama bertahun-tahun. Banyak orang berpikir itu 'konyol' - tetapi itu benar-benar dapat membuat saya dari panik untuk dapat mengatasinya. Ketika putri saya berusia enam tahun, dia keluar dari sekolah dan ditemukan tertidur (dia sakit dan kami belum tahu sebelum sekolah) oleh seorang tetangga sekolah di kursi malasnya dua jam kemudian. Saya hampir tidak bisa bernapas. Jantungku berdegup kencang dan aku nyaris pingsan. Saya beruntung karena petugas kepolisian mengenal saya dari sekolah saya sendiri (tempat saya mengajar) dan mengatakan kepada saya untuk "Bernapaslah!" Itu mengingatkan saya untuk memusatkan diri dan membuat saya memulai kembali dan meskipun saya takut tidak dapat dijelaskan, saya berfungsi lagi. Saya menelepon sekolah selama berminggu-minggu saat makan siang - hanya untuk memastikan putri saya ada di sana.
Mereka bisa menderita PTSD
Post-traumatic stress disorder (PTSD) baru-baru ini dicatat pada orang tua setelah melahirkan traumatis, dengan bayi prematur di NICU, setelah seorang anak mengalami trauma akut atau penyakit yang mengancam jiwa dan ketika seorang anak mengembangkan penyakit kronis. Kejadian PTSD yang dilaporkan pada orang tua dalam situasi ini berkisar antara 1,5% hingga 6% dengan melahirkan traumatis (Ayers & Pickering, 2001; Menage, 1993) hingga 21% hingga 23% ketika seorang anak telah berada di NICU atau PICU (Balluffi et al., 2004; Vanderbilt, Bushley, Young, & Frank., 2009), hingga 30% untuk orang tua dari anak-anak dengan leukemia (Kazak et al., 1997). Dalam sebuah studi oleh Landolt, Vollrath, Laimbacher, Gnehm, dan Sennhauser (2005), semua ibu dari anak-anak yang pernah mengalami episode hipoglikemia parah mengembangkan PTSD.